Filsafat haram? Berpikir filsafat juga haram?

Walopun momentum "Haramnya Berfilsafat" udah usang 5-6 bulan silam, tapi ana pengen coba jembrengin lagi "Betapa Haramnya Berfilsafat" dari viewpoint anahttps://abs.twimg.com/emoji/v2/... draggable="false" alt="😁" title="Grinsendes Gesicht mit lĂ€chelnden Augen" aria-label="Emoji: Grinsendes Gesicht mit lĂ€chelnden Augen">

—Sebuah utas liar—
Sebagai kegiatan yang kontemplatif, berpikir filsafat punya ciri yang khas pada metodenya—dialektika.

Pemikiran filsafat bergerak maju secara progresif, berorientasi pada pendapat dengan melakukan kritik, men-deconstruct atau falsifikasi kritik walopun udah diterima secara umum.
Berpikir secara dialektis, kalo mengacu ke nabi Hegel, metodenya diawali dari tesis, antitesis, dan sintesis.

Kegiatan meng-antitesis ini biasanya dilakukan dengan melakukan kritik yang konstruktif, sistematis, dan objektif terhadap sesuatu.
Nah, dengan melakukan kritik dan nge-deconstruct pendapat-pendapat yang terdahulu, filsafat berusaha membangun "Kebenaran Baru."

Kebenaran yang didukung dengan argumentasi yang lebih kuat dan disertai fakta-fakta baru yang reliable dan bisa diuji.
Hence, bisa dikatakan bahwa filsafat berusaha mengartikulasikan asumsi dan memeriksanya, secara kritis, melalui tahap skrutinisasi yang ketat.
Filsafat selalu ingin bergerak maju dengan cara menghindari metode berpikir yang didasarkan pada asumsi dan prasangka belaka.

Alhasil, filsafat juga sering disebut cara revolusi yang sistematis, metodologis, radikal, dan terstruktur.

Ga heran, kalo kemudian filsafat diharamkan.
Dengan disebutnya filsafat sebagai cara revolusi, filsafat ga serta-merta menutup dirinya dari antitesis yang diarahkan padanya.

Justru, setiap Kebenaran Baru yang nantinya mampu diraih oleh filsafat, harus bisa dikritik dan terbuka terhadap segala bentuk kritik.
Ga cuma berhenti di situ, filsafat juga berusaha mencapai realitas yang sesungguhnya.

Ga seperti agama yang bersandar pada keyakinan buta, filsafat mencari kebenaran di balik sesuatu yang empirik—kebenaran yang mendasar, esensial, hakiki, dan tidak berhenti pada kepercayaan.
Kebenaran, bagi filsafat, selalu bersifat dialektis dan dialogis, selalu membuka ruang untuk kritik yang tajam dan kritis.

Hal ini dikarenakan, dalam filsafat, tidak ada kebenaran yang final, sekalipun kebenaran tersebut telah diterima secara umum sebagai kebenaran mutlak.
Seperti contoh, kalo saat ini banyak sapiens mengatakan bahwa keadilan menurut nabi John Rowls adalah pengertian keadilan yang paling mutakhir,

Maka akan tiba masanya dimana akan ada filsuf yang menemukan keadilan yang lebih hakiki daripada keadilan menurut nabi Rowls.
Nabi Jurgen Habermas pernah berfirman, "the unforced force of the better argument."

Oleh karena kebenaran filsafat diperoleh dari pemikiran yang radikal, rasional, dan sangat tertib metodologi, maka kebenaran filsafat akan selalu digugat, dikuliti, dan dikritisi.
Selain Kebenaran Baru, objek yang dicari oleh filsafat juga merupakan sesuatu yang hakiki dari realitas, yaitu kebenaran meta-empirik

Oleh karenanya, sapiens yang berpikir filsafat tidak lantas puas dengan mudah atas capaian yang telah diperoleh dari berfilsafat itu tadi.
You can follow @gforguido.
Tip: mention @twtextapp on a Twitter thread with the keyword “unroll” to get a link to it.

Latest Threads Unrolled: